Hai semua :)
Kali ini saya akan menuliskan hasil tugas pada minggu kedua mata kuliah budaya makanan. Tugas yang diberikan adalah review jurnal, kelompok saya mendapatkan tentang Kultural dan kapital simbolik dengan dan tanpa kendala ekonomi (Belanja makanan pada keluarga di Kanada dengan pendapatan rendah dan pendapatan tinggi).
Kebiasaan makan berkaitan dengan ketidaksetaraan kelas sosial dalam cara yang kompleks. Uang memiliki dampak langsung pada kemampuan untuk membeli makanan yang diinginkan, tetapi kebiasaan makan dan prioritas juga timbul dari dan berkontribusi kepada konteks budaya dari kelas sosial. Sementara, keterbatasan finansial akan membatasi pilihan makanan untuk dibeli bagi orang yang memiliki sedikit uang, sosial dan budaya mengarahkan masyarakat tentang makan yang baik dan benar, dan mengarahkan persepsi akan kebiasaan makan apa yang tidak memuaskan, yang menjijikan, yang akan membatasi pembelian makanan bagi mereka yang memiliki perekonomian yang cukup. Makalah ini fokus pada pembelanjaan makanan orang kanada dengan penghasilan yang rendah dan yang tinggi, berusaha untuk mengerti kerumitan logika yang terdapat pada kebiasaan mereka sehari-hari dan relasinya pada mekanisme pembagian kelas sosial.
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Sampel yang digunakan adalah 105 keluarga dengan 10 macam lokasi yang berbeda di kanada. Metode analisis yang digunakan adalah wawancara. Setiap keluarga ada 2 orang responden yang diwawancara dengan pertanyaan yang berbeda. Responden yang pertama diberikan pertanyaan bagaimana kebiasaan makan mereka sehari-hari, sedangkan responden yang kedua diberikan foto seputar foto tersebut. Responden diberikan beberapa pertanyaan mengenai bagaimana sistem belanja makanan pada keluarga masing-masing dengan pertanyaan seperti siapa yang berbelanja, dimana belanjanya, dan apa yang membuat mereka memutuskan untuk membeli makanan tersebut. Responden juga diminta untuk mengambil foto tempat belanja mereka. Wawancara dilakukan kepada 44 keluarga namun terdapat 5 keluarga berpendapatan rendah dan tinggi yang bertempat belanja sama sehingga harus dieliminasi dan menyisakan 39 keluarga yang terdiri dari 26 keluarga bependapatan rendah (c$30,000) dan 13 keluarga berpendapatan tinggi (c$140,000). Ketiga puluh sembilan keluarga memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda beda . Pada keluarga yang berpendidikan rendah terdapat empat orang yang bergelar sarjana, lima orang menyelesaikan sampai sekolah menegah atas, dan sisanya memiliki ijazah perguruan tinggi. Sedangkan yang berpendapatan tinggi 10 dari 13 orang bergelar sarjana. Hanya terdapat 5 keluarga yang memilliki 2 orang responden dewasa pada keluarga yang berpendapatan rendah, sedangkan keluarga yang berpendapatan tinggi seluruhnya memiliki 2 orang responden dewasa. Penelitian ini menganalisis hubungan antara cara berbelanja dengan situasi keuangan keluarga dan akan dibandingkan antar keluarga.
Praktik berbelanja
Berbelanja di beberapa toko
Responden yang memiliki penghasilan tinggi biasanya mengunjungi beberapa gerai tempat makanan seperti tempat perbelanjaan sayur dan buah, toko makanan sehat, toko roti, penjual kopi, penjual daging, penjual keju dan penjual makanan etnis tertentu. Mereka mencari bahan dan produk yang berkualitas. Pembeli yang memiliki penghasilan tinggi seringkali datang ke tempat yang menjual makanan khas (authentic). Pembeli yang memiliki penghasilan rendah juga sering mengunjungi beberapa tempat perbelanjaan dengan tujuan untuk melihat harga antar toko, namun beberapa orang yang memiliki penghasilan rendah sering mengunjungi beberapa toko karena alasan yang sama dengan pembeli yang memiliki penghasilan tinggi yaitu karena kualitas, produk khusus.
Loyalitas ke toko tertentu
Pembeli dengan pendapatan tinggi biasanya memilih toko berdasarkan variasi dan kualitas dari produk. Produk yang menarik dilihat dari kesegarannya, kualitas, kebersihan selain itu hal yang tidak kalah penting adalah pelayanan, kesediaan tempat parkir dan ketersediaan barang khusus (seperti produk bebas gluten). Untuk konsumen yang memiliki pendapatan tinggi, pengalaman berbelanja merupakan faktor yang mempengaruhi loyal atau tidak pada tempat perbelanjaan tersebut dan harga tidak menjadi masalah bagi mereka. Selain itu pembeli dengan pendapatan tinggi juga memiliki prinsip mendukung toko kelontong. Hal yang berbeda pada pembeli yang memiliki penghasilan rendah, mereka akan setia pada tempat perbelanjaan yang menjual produk dengan harga murah dan kenyamanan yang dirasakan saat mereka sedang berbelanja.
Isu transportasi
Masalah transportasi jarang disebutkan oleh orang yang memiliki penghasilan tinggi, kecuali mengenai ketersediaan tempat parkir namun mereka yang memiliki penghasilan rendah selalu mengangkat isu transportasi. Orang yang memiliki penghasilan rendah biasanya berbelanja di toko yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki dengan membawa barang belanjaan mereka. Tak jarang juga mereka menggunakan transportasi umum.
Daftar belanja dan anggaran belanja
Kelompok yang memiliki penghasilan rendah dan tinggi hampir setengahnya menggunakan daftar belanja. 4 dari 13 keluarga berpenghasilan tinggi menggunakan daftar belanja yang dituliskan anggota keluarga mengenai makanan yang dibutuhkan sedangkan 2 keluarga lainnya menggunakan daftar belanja sebagai alat bantu untuk mengingat barang yang harus dibeli ketika ayah atau remaja yang pergi berbelanja. Sedangkan 15 dari 26 keluarga yang berpenghasilan rendah menggunakan daftar belanja sebagai alat bantu memori, mengurangi pengeluaran dan menghindari terjadinya pemborosan. 2 keluarga yang memiliki penghasilan rendah tidak menggunakan daftar belanja, tetapi memulai belanja dengan barang yang sedang diskon. Sedangkan mengenai anggaran belanja, sepertiga orang yang berpenghasilan rendah memiliki anggaran belanja yang spesifik dan rinci, yang tidak memiliki anggaran belanja biasanya hanya membeli barang yang dibutuhkan dan hanya 3 dari 13 keluarga berpenghasilan tinggi yang memiliki anggaran belanja, sisanya tidak memiliki anggaran belanja.
Promosi, brosur dan kupon
Kedua kelompok menekan pembelian ketika berbelanja makanan. 3 pembeli yang memiliki penghasilan tinggi membeli produk yang sedang diskon dan beberapa orang yang memiliki penghasilan rendah memiliki pengetahuan yang rinci untuk mendapatkan potongan harga termasuk toko mana yang sedang diskon. Banyak dari kelompok berpenghasilan rendah membeli produk yang sedang diskon meskipun tidak dibutuhkan dan di luar anggaran. Terkait dengan brosur penawaran, keluarga berpenghasilan rendah merasa sangat penting brosur dan kupon potongan harga sedangkan keluarga berpenghasilan tinggi tidak memerlukan kupon atau brosur, jika pun iya hanya sebagai inspirasi untuk mempersiapkan makanan.
Berfikir sebelum membeli vs membeli tanpa berfikir
Sebagian besar keluarga berpenghasilan tinggi mendeskripsikan bahwa belanja merupakan kegiatan yang menyenangkan begitu pun yang dirasakan oleh anak remaja dalam keluarga mereka. Tetapi, hal ini berbanding terbalik dengan keluarga berpenghasilan rendah, mereka berfikir strategi untuk menahan keinginan berbelanja sehingga produk yang dibeli hanya yang benar-benar dibutuhkan dan biasanya para orang tua menghindari berbelanja dengan anak-anak dikarenakan anak-anak memiliki banyak keinginan. Kalau anak-anak ikut berbelanja, jika mereka meminta sesuatu biasanya para orang tua melarang sehingga karena inilah anak-anak tidak suka berbelanja.
Prioritas belanja
Responden yang memiliki penghasilan tinggi memilih untuk tidak mengonsumsi makanan yang siap saji, seperti makanan beku, karena lebih memprioritaskan kualitas dan kesehatannya. Responden wanita berpenghasilan tinggi berpendapat apabila ia membelikan anak-anaknya makanan siap saji, ia tidak akan puas dan menganggap dirinya orang tua yang kejam. Apabila ia ingin membelikan makanan siap saji, ia akan membelikan makanan di restoran atau toko makanan yang jual makanan sehat atau authentic dibandingkan ia harus membeli daging ayam jadi yang ada di supermarket. Namun terdapat satu keluarga berpenghasilan tinggi yang berpendapat bahwa ia mengonsumsi makanan apa saja dan hanya berfokus pada rasa, kesenangan, dan selera.
Beberapa responden berpenghasilan rendah menghindari makanan dengan biaya yang mahal, mereka mengatakan hanya membeli makanan siap saji ketika memiliki waktu yang sedikit. Sebagian besar keluarga yang berpenghasilan rendah secara rutin membeli makanan seperti mie instan atau nasi instan, makanan beku, pizza beku, dan sup kaleng. Hanya produk inilah yang bisa mereka andalkan untuk diberikan kepada anak-anaknya, bahkan seorang wanita menjelaskan ketergantungannya terhadap makanan siap saji tersebut dalam hal penghematan waktu dan biaya. Apabila ia harus membeli bahan-bahan mentah, keluarganya harus lebih banyak menyiapkan dan mengalami kesulitan dalam hal biaya dan waktu. Misalnya dalam hal biaya, ia harus menyiapkan 10 potong ayam, satu set kentang ukuran besar dan wortel dengan berat 2 pound. Sedangkan ia pulang kerja jam 5:00, anak-anaknya sudah dalam kondisi lapar, sehingga tidak cukup waktu untuk mengolah bahan-bahan tersebut.
Biaya dan kualitas
Pengusaha dengan penghasilan tinggi umumnya tidak memperhatikan biaya makanan, mereka hanya berfokus pada apa yang mereka butuhkan dan inginkan, mereka hanya berfokus pada kualitas dari makanan tersebut. Seorang pembelanja lainnya mengatakan bahwa hanya membeli daging merah jika berasal dari toko atau tempat yang benar-benar fantastis yang berfokus pada kualitas bukan kuantitas. Meskipun biaya makanan selalu menjadi prioritas bagi pembeli berpenghasilan rendah, banyak juga yang mencari kualitas untuk harga. Mereka belajar dari pengalaman membeli produk makanan murah namun mendapatkan kualitas yang buruk, oleh karena itu mereka hanya akan membeli merek bermutu tinggi namun berusaha keras untuk mencari tahu dimana mereka bisa mendapatkannya dengan harga terendah.
Prioritas makanan sehat
Terlepas dari pendapatan, pada umumnya keluarga memprioritaskan makanan sehat dengan kaya nutrisi. Orang berpenghasilan tinggi menekankan bahwa mengonsumsi buah dan sayur, mengurangi makanan dan minuman ringan, menghindari makanan olahan tinggi garam dan lemak diet, serta mengonsumsi gandum itu untuk mengurangi atau mempertahankan berat badan. Mereka menghindari makanan cepat saji seperti keripik dan lain-lain seperti yang dimakan orang yang berpenghasilan rendah. Sedangkan sebagian besar orang berpenghasilan rendah menekankan pentingnya makan sehat itu seperti biji-bijian, buah dan sayur segar, produk organik, dan menghindari makanan cepat saji. Namun ada beberapa responden berpenghasilan rendah juga memiliki fokus pada kesehatan dengan hanya mengonsumsi makanan mentah, makanan organik, jus sayuran segar atau suplemen vitamin dan mineral.
Orang tua kadang-kadang membenarkan membeli makanan yang tidak sehat karena merupakan jeda atau waktunya beristirahat untuk mengonsumsi makanan sehat. Umumnya lebih mempertimbangkan untuk membeli makanan sehat yang mahal daripada yang tidak sehat. Beberapa orang tua dan remaja berkomentar bahwa tidak masuk akal, untuk membeli buah dan sayur, gandum dan produk organik harus mengeluarkan biaya yang mahal. Mereka menyarankan agar klaim tentang biaya makan sehat itu berdampak buruk pada pengelolaan keuangan yang buruk.
Prioritas etika makanan
Responden yang berpenghasilan rendah pada umumnya membeli dan mengonsumsi makanan yang berbeda beda. Ada yang mengonsumsi makanan hijau dari hasil kebun milik anggota keluarga, adapula yang menanam sendiri seperti buah beri. Selain itu, ada pula responden yang membeli ikan dan daging organik. Banyak juga yang membeli dari produk lokal jika memungkinkan, membeli produk organik saat mampu, dan menggunakan daftar produk yang paling banyak terkena pestisida. Seorang responden yang berpenghasilan dibawah 10.000 dolar setahun hanya membeli makanan organik, produk lokal, termasuk tepung. Yang lainnya kadang merasa senang saat sewaktu-waktu bank makanan membagikan wortel organik. Meskipun memiliki komitmen terhadap makanan etis, namun banyak responden berpenghasilan rendah tidak dapat menerapkan etika mereka saat berbelanja.
Pada umumnya responden yang berpenghasilan tinggi berusaha membeli produk lokal yang dianggap lebih segar karena beberapa dari mereka menggangap bahwa produk organik belum tentu benar-benar organik dan produk non organik tidak mengandung racun sehingga masih layak dikonsumsi. Pengusaha berpenghasilan tinggi adalah satu-satunya yang secara terbuka mengungkapkan ketidakpercayaan terhadap makanan etis. Enam dari tiga puluh keluarga berpenghasilan tinggi menunjukkan ambivalensi (ragu) tentang validitas "makanan hijau".
Kesimpulan
Keluarga dengan berpendapatan rendah dan tinggi memiliki perbedaan dalam cara berbelanja hampir dalam segala aspek. Ketika berbelanja, keluarga yang berpendapatan rendah memperhatikan harga, diskon, dan anggaran yang mereka punya. Sedangkan yang berpendapatan tinggi, lebih memperhatikan kualitas dan membandingkannya dengan beberapa toko. Mereka juga tidak berbelanja berdasarkan harga melainkan sesuka mereka sedang ingin berbelanja dimana saja yang mereka suka.
Sekian yang dapat saya bagikan buat teman-teman semua yang membaca tulisan ini, semoga bermanfaat, jangan lupa makan sehat dan bahagia :) Sampai bertemu di tulisan selanjutnya! Salam Indonesia Jaya!
Comments
Post a Comment